Agar Anak Gemar Sedekah


وَاَنْفِقُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوْا بِاَ يْدِيْكُمْ اِلَى النَّهْلُكَةِ وَاَحْسَنُوْا اِنَّ اللهً يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ

195. dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنْبُلَةٍِ مِائَةُ حَبَّةٍِ وَاللهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاءُ وَاللهُ وَا سِعٌُ عَلِيْمٌُ

2 : 261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

Melaksanakan sedekah atau berinfak merupakan salah satu syarat penting, di samping beberapa syarat lainnya, untuk mencapai derajat mukmin (orang beriman) serta muttaqin (bertaqwa). Saya dan Anda belum dikatakan mukmin kalau belum gemar sedekah. Ilmu atau informasi tentang sedekah ini bisa Anda peroleh dari Allah s.w.t. melalui wahyu Nya, Kitab Suci Al Qur’an. Banyak ayat yang menginformasikan betapa pentingnya sedekah, dua ayat di antaranya yang tertulis di atas. Hendaknya Anda dan saya menyadari sepenuh hati, bahwa setiap yang dianjurkan oleh Allah untuk dilakukan, berarti hal itu baik bagi manusia. Sebaliknya, setiap yang dilarang atau disuruh menjauhi, berarti hal itu buruk bagi manusia. Demikian juga masalah sedekah.

Allah s.w.t. menginformasikan sedekah, bukan untuk kepentingan Allah s.w.t. Rasulullah memberikan ilmu sedekah bukan untuk kepentingan pribadinya. Semua informasi dari Allah serta Rasulullah itu untuk kebahagiaan pelakunya. Untuk kesejahteraan stakeholder. dalam hal ini orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik pelaku, penerima, serta lingkungan sedekah termasuk para amil alias eksekutif sedekah.

Sedekah sangat berarti bagi saya, bagi Anda, serta bagi kehidupan manusia. Di bawah ini akan diuraikan, beberapa nilai sedekah, serta kiat-kiatnya untuk diajarkan kepada anak.

1. Sedekah sebagai solusi kehidupan

Agar bisa melihat nilai atau makna sedekah, marilah kita membenahi dahulu cara pandang kita terhadap Allah s.w.t. Allah adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia, di mana saya dan Anda ada di dalamnya. Allah Hyang Maha Pencipta itu, memiliki kemampuan yang tidak tertandingi oleh seluruh manusia dan jin. “Sekecil” apapun ciptanNya, (sebenarnya tidak ada ciptaan Allah yang benar-benar bermakna kecil) tidak ada seorang manusia dan jin yang bisa menirunya, walaupun makhluk itu ‘hanya’ seekor kutu, semut, kuman, virus, atau yang lebih sederhana dari itu. Manusia tidak bisa meniru persis ciptaan Allah. S.w.t. itu. Jangankan mau meniru untuk membuat, berkaitan dengan hakekat organ tubuh, atau bagian-bagian tubuhnya sendiri saja pengetahuan manusia sangat terbatas.

Tahukah Anda seluruh komponen yang ada dalam jantung anda. Tahukah Anda jenis serta jumlah saluran paru-paru anda. Tahukah Anda jenis dan jumlah hormone serta enzim dalam tubuh Anda? Tahukah Anda jenis, jumlah, serta fungsi syaraf Anda, mulai dari ujung jari kaki hingga yang ada di otak Anda?. Tidak ! Tidak ada manusia yang tahu semuanya tentang diri manusia. Apalagi jika ditambah dengan masalah-masalah psikhologis, lebih banyak yang tidak diketahui oleh manusia. Karena demikian terbatasnya pengetahuan manusia, maka sikap yang benar dan baik tentang masalah manusia ini, marilah saya dan Anda mencari informasi secara tulus dan jujur. Sikap yang benar terhadap informasi, apalagi dari Allah dan Rasulullah, adalah sebagaimana seorang pelajar yang haus ilmu. Bersikaplah terbuka, welcome. Itu sikap pertama.

Sikap kedua adalah berpandangan positif, atau positive thinking, alias khusnudhon. Seperti telah tersebut di atas, pandanglah semua informasi, pengetahuan, himbauan, perintah atau (apalah sebutannya menurut Anda), yang berasal dari Allah, yang ada dalam kitab Al-Qur’an itu, dimaksudkan untuk kebaikan, kebahagiaan, kesejahteraan, keselamatan manusia, termasuk saya dan Anda. Al- Qur’an itu petunjuk, pedoman, manual, guidance, kompas, Al- Huda,

yang pasti benar, tidak ada keraguan di dalamnya. Tidak ada perubahan dalam Al-Qur’an, karena dijamin sendiri oleh Allah s.w.t.

Jadi, paling tidak kita mesti memiliki dua sikap, yaitu sikap untuk mencari tahu alias haus ilmu, serta sikap positive thinking terhadap Allah S.W.T, melalui wahyuNya, serta melalui Rasulullah alias hadits-haditsnya. Dengan bekal dua sikap itu, mari kita telusuri, bagaimana Allah s.w.t. menginformasikan tentang solusi masalah kehidupan ini.

Bagaimana serta siapakah yang dijamin Allah akan dibantu persoalan hidupnya. Di ujung ayat At-Thalaq ayat 2 dan awal ayat 3, Allah berfirman, yang artinya :

“………………….. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Thalaq ayat 2 dan 3)

Dua ayat ini secara pasti menginformasikan bahwa orang yang akan diberi jalan keluar dalam hidupnya, serta akan diberi limpahan rizki adalah orang yang bertaqwa, alias muttaqin. Sedangkan di awal tulisan ini disebutkan, bahwa limpahan rizki itu bisa diperoleh dengan bersedekah (Al baqoroh :261). Di dalam Surat Al Baqoroh ayat 3 juga disebutkan, salah satu tanda orang muttaqin adalah gemar bersedekah alias berinfaq. Memang, sedekah bukan satu-satunya syarat untuk menjadi muttaqin, namun sedekah menjadi factor penentu seseorang disebut muttaqin atau bukan. Sedangkan Allah S.W.T. menjamin akan memberi jalan keluar atas persoalan yang dihadapi orang muttaqin.

Kesimpulannya, jika Anda ingin mendapatkan solusi atas persoalan-persoalan kehidupan Anda, maka berusahalah menjadi orang bertaqwa alias muttaqin, salah satu syaratnya yaitu gemar sedekah. Jadikanlah sedekah menjadi kebutuhan Anda, dalam rangka menjadi muttaqin. Ini bukan berarti kita ingin disebut oleh manusia dengan sebutan muttaqin. Bukan itu yang dimaksudkan. Muttaqin itu adalah derajad tertinggi di hadapan Allah (Al Hujurat : 13). Maka wajar jika kita berusaha meraihnya. Apalagi Allah menjamin bahwa dengan menjadi muttaqin Allah akan membantu menyelesaikan persoalan kehidupan kita. Maka, jadikanlah sedekah itu sebagai kebiasaan kita, seperti kebiasaan kita mandi dan gosok gigi. Bahkan jadikanlah sedekah sebagai nafas kehidupan. Tanamkan dalam diri Anda, serta keluarga Anda : “tiada hari tanpa sedekah”. Dengan hati yang yakin, tulus, ridho, kontinyu, dan istiqomah untuk bersedekah, maka Anda akan menemukan solusi kehidupan yang indah.

2. Sedekah itu membahagiakan

Bagi yang belum biasa sedekah, maka sedekah itu merugikan. Sedekah hanya membuat harta berkurang. Apalagi, kalau pendapatan sedang minim, ada permohonan sumbangan dari kepanitiaan tertentu, misalnya untuk membangun musholla atau perbaikan pos ronda, sedekah menjadi kegiatan yang tidak menarik sama sekali. Mungkin sebagian akan berkata : “untuk beli rokok saja eceran, kok malah dimintai sumbangan /sedekah !!”.

Hal itu terjadi, karena kita sering melihat sedekah hanya pada tataran luar. Tataran fisik yang kasat mata. Secara fisik, sedekah itu memberikan sesuatu (yang sering terjadi uang atau barang) dari seseorang kepada fihak lain, baik pribadi atau kelompok. Nampaknya hanya sekedar memindahkan hak milik dari seseorang menjadi milik fihak lain. Simple. Padahal, sedekah bisa dilihat dari sisi lain, yaitu sisi pemberi, sekaligus sisi rohani, batin alias psikhologis.

Jika sedekah dilakukan dengan wajar, tanpa tekanan, bahkan ikhlas serta ridho, maka di sinilah kunci sedekah. Sedekah yang seperti ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang jiwanya sudah pada tingkat “transformasi”. Sedekah yang sudah bisa dilakukan secara ikhlas, menunjukkan ketenangan jiwa pelakunya. Jiwa pelaku sedekah yang ikhlas inilah sesungguhnya kunci rahasia kebahagiaan orang melakukan sedekah. Tanpa keikhlasan maka tidak akan tercapai kabahagiaan.

Orang yang bisa melakukan sedekah dengan ikhlas, berarti dia sudah tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia sudah mampu melihat keberadaan orang lain, yaitu bahwa orang yang dia beri sedekah juga memiliki hak atau eksistensi sebagai manusia yang bahagia, serta sejahtera seperti dirinya. Orang yang sedekah berarti sudah bisa merasakan ‘kecukupan’ dirinya, sehingga ringan untuk berbagi kepada sesama. Hal ini tidak harus terjadi pada orang kaya. Semua orang, yang kaya maupun yang miskin, tetap memiliki peluang untuk bersedekah dengan ikhlas.

Jika demikian, apakah kalau belum bisa ikhlas tidak perlu sedekah? Persoalannya tidak demikian. Karena sedekah merupakan indicator kebahagiaan jiwa seseorang, maka untuk mencapainya dibutuhkan latihan-latihan. Jangan menunggu ikhlas baru sedekah. Lebih konyol lagi menunggu kaya baru sedekah. Kalau Anda ingin menjadi ikhlas, ingin menjadi bahagia, ingin menjadi muttaqin, maka bersedekahlah mulai saat ini. Lakukan secara rutin, seperti Anda menghirup nafas secara ikhlas dan rutin. Lakukan sedekah tanpa memandang rendah fihak yang Anda beri sedekah, apalagi dengan mengumpat. Dan, jangan ceritakan sedekah Anda kepada orang lain. Insya Allah, dengan rajin melakukan sedekah secara rutin, serutin dan se ikhlas Anda (maaf) buang hajat/kotoran, Anda akan merasakan kebahagiaan melalui sedekah.

3. Bersedekah = membuka sumbatan rizki.

Air yang mengalir di sungai ataupun yang melalui pipa-pipa pengairan, gas lpg yang melalui selang kompor gas kita, bahan bakar yang lewat karborator kendaraan, bahkan darah yang mengalir di pembuluh-pembuluh dalam tubuh ini suatu saat bisa mengalami gangguan. Jika tidak diatasi, maka merugikan pemiliknya.

Rizki Allah bisa sampai kepada kita juga melalu saluran-saluran. Saluran-saluran rizki itu perlu kita bangun, kita manfaatkan serta kita pelihara. Membuka warung, melamar pekerjaan, mencari hubungan/relasi, semua ini bisa disebut ikhtiar membangun saluran-saluran rizki. Biasanya, setelah saluran dibangun, karena asyik memakai, akhirnya lupa untuk merawat. Lupa untuk membersihkan saluran-saluran rizki itu. Ketika rizkinya dirasa kurang lancar, baru menyadari bahwa ada yang tersumbat. Namun, belum tentu bisa menemukan saluran mana yang tersumbat?

Dengan menggunakan bekal kedua, positive thinking alias khusnudhon, mari kita lihat lagi Surat Albaqoroh ayat 261 di atas :

perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

Urusan rizki Anda secara keseluruhan, bisa diibaratkan urusan petani dengan sepetak tanahnya. Rizki ibarat pohon yang ditanam petani. Pada usaha pertanian tanaman keras, misalnya menanam pohon jati, pohon albizia atau tanaman keras lainnya, dikenal pemeliharaan dengan cara penjarangan. Yaitu mengurangi atau menebang sebagian tanaman yang sudah ada, sehingga tanaman yang tinggal akan memiliki ruang tumbuh yang lebih leluasa, dan diharapkan memberikan hasil yang optimal.

Sebagian rizki yang kita lepas – seperti ditebang atau dijarangi dalam kasus pertanian di atas – adalah rizki yang sebenarnya ‘tidak kita butuhkan’. Rizki itu kalau kita tahan hanya mengganggu perkembangan rizki kita yang lain. Memang rizki sedekah itu bisa dimanfaatkan oleh fihak-fihak yang berhak, seperti untuk fi sabilillah dalam ayat di atas. Namun, kalau itu kita biarkan berada di ‘ladang’ rizki kita, maka akan menghambat pertumbuhan ‘pohon’ rizki kita yang lain. Padahal jumlahnya tidak banyak, hanya 1/40 bagian, alias 2,5 % dari pendapatan, atau panen kita setiap bulan, setiap periode, atau setahun sekali.

Itulah sumbatan, atau gangguan rizki yang jarang kita fikirkan. Mungkin Anda belum percaya. Maka, buktikanlah mulai dari yang kecil namun rutin. Keluarkan sumbatan rizki anda itu setiap Jum’at, dengan jumlah yang paling kecil, seribu rupiah. Lakukan selama 40 jum’at. (angka 40 jum’at ini bukan harga mati, hanya untuk mempermudah ukuran saja). Setelah itu bandingkan dengan 40 Jum’at berikutnya, dengan jumlah sedekah yang lebih besar. Tingkatkan terus ‘penebangan –pohon’ rizki itu hingga jumlahnya mencapai 2,5% setiap bulan dari pendapatan Anda. Syukur frekuensinya tidak setiap Jum’at, tapi setiap hari. Kalau sudah mencapai 2,5% per bulan, hitung dan rasakan sendiri hasilnya. Insya Allah, Anda tidak puas hanya ‘menebang’ atau ‘menjarangi’ rizki sebesar 2,5%.

4. Orang tua sebagai figure bagi anak.

Di sebuah sekolah beasiswa yang khusus menampung anak-anak kurang mampu, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya. “Besuk besar mau jadi apa….?. Jawaban anak-anak di sana beragam. Ada yang ingin jadi dokter, presiden, tukang sampah , pemulung, dan sebagainya. Sebagian besar jawaban itu mencerminkan pekerjaan dari orang tua mereka. Ini sekedar bukti kecil bahwa apa yang dilakukan orang tua menjadi model dalam pikiran anak.

Ketika anak baru lahir, banyak orang mendoakan agar anak-anak kita kelak menjadi anak yang solih/solihah. Namun, harapan ini belum banyak mendapatkan dukungan selanjutnya. Kita lebih sering menanamkan di benak anak, untuk menjadi dokter, polisi, tentara, sarjana, presiden dan sebagainya. Alangkah lebih indah kalau do’a dari para kerabat itu , kita tindak-lanjuti dengan menanamkan di benak anak untuk menjadi dokter yang solih, polisi yang solih, tentara yang solih, dan presiden yang solih.

Kelalaian kita bahwa kita ingin memiliki anak yang solih, membuat diri kita juga lupa bahwa kita adalah orang tua yang mestinya wajib memberi contoh kesolihan kepada anak-anak kita. Jangan Anda berharap anak mau belajar, kalau Anda sendiri hanya enak-enak menonton televisi.

Kesolihan merupakan derajad yang terpuji. Karena seorang nabipun berdoa untuk bisa menjadi orang yang solih. Maka sangat tepat, jika Anda menginginkan anak yang solih. Konsekuensinya adalah Anda sendiri harus bisa memberi contoh kesolihan kepada anak. Jika kesolihan diukur dari ibadah mahdoh, sholat misalnya, maka Anda semestinya rajin melakukan sholat, baru mengajak anak Anda mengerjakan sholat. Jika kesolihan diukur dari kesopanan, maka jangan berkata kasar pada anak Anda. Jika kesolihan diukur dengan perbuatan yang bermanfaat, maka merokok menjadi tabu bagi Anda. Jika kesolihan diukur dengan kepedulian terhadap tetangga yang kekurangan, maka Anda perlu sedekah secara rutin.

Intinya Anda adalah contoh. Anda adalah figure. Anda adalah suri tauladan. Jika Anda rajin sedekah, maka anak Anda juga rajin sedekah. Jika kita pelit, jarang sedekah, maka jangan harap ada kepedulian dari anak, ketika kita sudah jompo. Wallahu a’lam. [ant]

Categories:

    Total Tayangan Halaman

    FOLLOWER

    Who is Super Power?