Sebagian besar masyarakat desa di negeri ini hidup di sektor pertanian. Dalam pertanian tradisional, sekitar tahun 70 an dan sebelumnya, usaha tani banyak dilakukan secara subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Pola hubungan antar petani didominasi dengan pola kekeluargaan. Hal itu terjadi karena didukung oleh teknologi yang masih sederhana. Kebutuhan-kebutuhan sarana produksi pertanian bisa didapatkan dari tetangganya tanpa harus mengeluarkan biaya. Pada musim tanam padi misalnya, seseorang yang kekurangan bibit padi bisa minta kepada tetangganya tanpa harus mengeluarkan uang.
Kebutuhan pupuk kandang juga bisa dipenuhi dengan cara saling memberi dengan tetangganya, karena saat itu belum banyak dikenal pupuk buatan. Alam yang masih subur sangat memungkinkan untuk bisa dipupuk hanya dengan pupuk kandang. demikian juga kebutuhan tenaga kerja, antar petani bisa saling bergantian bantu-membantu, semacam arisan tenaga.
Intinya, karena hampir semua sarana produksi pertanian bisa diproduksi oleh petani sendiri, maka seolah-olah petani tidak harus mengeluarkan uang cas untuk mendapatkannya. Benih padi bisa diproduksi sendiri, kebutuhan pupuk cukup dengan pupuk kandang, tenaga kerja bisa gotong royong, obat-obatan bisa dibuat sendiri dan seterusnya. dari sisi kemudahan, maka bertani pada masa itu jauh lebih mudah dibanding sekarang. Pola kerjasama/gotong royong ini juga menjadi landasanpada sisi kehidupan lainnya, di samping pertanian. Dilihat dengan jangka pendek, kelihatannya pertanian ini kurang menguntungkan, karena hasil per satuan luas, per satuan waktu nampak kecil. Namun, jika bisa di teliti untuk jangka waktu yang panjang, misalnya per 25 tahun atau lebih, bisa jadi pola pertanian jaman itu lebih menguntungkan bagi petani.

Kini teknologi pertanian bertambah maju. Namun belum tentu kemajuan itu dinikmati oleh para petani. Yang pasti, para pemilik modal penguasa teknologi pertanian yang bisa menikmati kemajuan itu. Seperti telah disebut di atas, petani tahun 70an ke bawah, bisa mendapatkan benih yang bagus dari hasil panen sendiri, namun dengan alasan untuk meningkatkan hasil persatuan luas dan waktu, serta untuk menanggulangi hama penyakit, maka dibuatlah padi vutw (varitas unggul tahan wereng) oleh pemerintah. Petani diwajibkan mengganti padi lama dengan jenis baru ini. Salah satu varitas itu adalah padi IR. Varitas ini adalah hasil persilangan, alias hibrida, bahkan mungkin hasil rekayasa genetik. Padi jenis baru ini dirancang untuk sekali tanam, terus dikonsumsi. Hasil panenan padi ini kalau digunakan benih, hasilnya pasti menurun. Konsekuensinya, petani harus selalu membeli benih jika ingin hasilnya tetap bagus. Ini dampak teknologi pertama.
Perubahan jenis/varitas itu menuntut pola pemeliharaan yang lain. Padi IR membutuhkan air yang terus menerus. Sehingga di sawah-sawah tadah hujan, petani harus mengeluarkan tambahan uang untuk membeli air di musim kemarau. Konsekuensi yang lain adalah penggunaan pupuk buatan. Padi jenis IR membutuhkan pupuk urea buatan, karena kebutuhan nitrogennya yang tinggi guna mengejar produksi yang ditargetkan, yaitu 6 ton per ha. Di samping itu, untuk menaggulangi hama dan penyakit, petani wajib menyemprot padinya secara serempak dengan pestisida buatan pabrik.

Apa yang terjadi? Sebuah revolusi hijau yang diharapkan bisa memperbaiki nasib petani, ternyata berbalik menjadi bumerang. Semua sarana produksi pertanian harus dibeli petani dengan uang cas. Dengan padi IR, pupuk buatan serta pestisida pabrik, maka habislah sudah kemandirian petani. Ekonomi perdesaan menjadi sangat tergantung dengan pemilik modal di perkotaan. Petani menjadi sangat tergantung dengan hutang pada perbankan. harga-harga sarana produksi dan hasil pertanian ditentukan oleh penguasa modal. Petani hanya menjadi budak di tanahnya sendiri. Yang bisa bertahan tetap menekuni usaha pertanian dengan segala kepahitannya. Yang tidak kuat lagi akan meninggalkan sawah ladangnya, entah dibiarkan menganggur, atau -- kalau ada yang mau -- disewakan kepada petani lain, kepada pemilik modal untuk didirikan pabrik, serta dijual untuk mencari kerja di kota. Penulis sendiri punya sedikit sawah tadah hujan yang disewa oleh tetangga dengan harga sak payune (terserah berapa mau membayar) daripada dia menganggur.

Dalih Revolusi hijau dengan pemaksaan penggunaan hasil teknologi modern itu benar-benar telah menghancurkan pola pertanian dan ekonomi perdesaan tradisional hingga saat ini. Petani dan anak-anaknya banyak meninggalkan desanya, seperti saya. Mereka lari ke kota untuk menjadi buruh, ataupun berdagang. Walaupun dengan perasaan yang haru, kami petani desa, terpaksa meninggalkan desa kami. Sebagian tanah-tanah petani dijual kepada pemilik modal dari kota. Di desa-desa sekarang tumbuh banyak pabrik. Sekilas, pembangunan semakin maju. Jalan jalan desa diaspal, listrik mula dipasang, semua orang punya televisi dan seterusnya. Namun sarana-sarana itu lebih banyak dinikmati pemilik modal. jalan aspal itu tidak ada bedanya dengan jalan tanah, bagi pejalan kaki. Namun, jalan aspal itu sangat dibutuhkan oleh pabrik untuk sarana transportasi hasil produksinya. Televisi yang dimiliki oleh orang-orang desa juga lebih banyak untuk alat promosi pemilik modal, para petani tidak mampu beriklan lewat televisi.

Segala hal diukur dan diselesaikan dengan uang. Untuk membangun rumah, dahulu kami bisa arisan tenaga alias gotong royong, sekarang harus pakai pemborong, dan pakai uang muka lebih dahulu.
Pelan tapi pasti peran masyarakat desa berubah lebih banyak sebagai konsumen daripada sebagai produsen. Di samping usaha pertanian, beberapa masyarakat dahulu juga memiliki usaha tenun tradisional, batik, home industri tahu, tempe, serta aneka kerajinan kebutuhan rumah tangga yang terbuat dari kayu dan bambu. Hampir bersamaan dengan introdusir padi vutw program revolusi hijau itu, industri-industru perdesaan pun mengalami penyusutan. Entah hantu darimana yang membuat hasil tenun kami menjadi tidak laku, karena kalah harga dan mutu dengan textil dari luar desa. Batik tulis nenek kami juga menyusut, karena kalah bersaing dengan batik cetak (printing) dari luar desa. beberapa usaha tahu dan tempe juga mengalami penyusutan dan gulung tikar, karena tiba-tiba stokkedelai menghilang dari pasaran. Namun, kami dikejutkan dengan masuknya kedelai, konon impor dari Amerika, yang penampakannya lebih besar-besar dan bulat-bulat, serta warna yang cerah menarik. Petani kedelai lokal kalangkabut menghadapi delai impor itu. Yang aneh bagi orang desa, kedelai impor itu ternyata tidak bisa ditanam dijadikan benih, mungkin karena sudah mencapai F 100 menurut ilmu genetika.

Sebuah ledakan sub sektor ekonomi yang bernama revolusi hijau telah membuat perubahan besar pada semua sektor di perdesaan. Orang-orang yang tinggal di desa sekarang sebenarnya banyak pendatang. Sebagian besar orang desa yang asli telah pergi meninggalkan desanya untuk merantau. Kekeluargaan, gotong-royong, kerjasama, telah nyaris musnah di perdesaan. Pola hubungan antar penduduk lebih didominasi transaksi ekonomi dan bisnis. Persis gejala global, yang memiliki modal besar akan bisa menguasai yang bermodal kecil.

Adat istiadat dan norma-norma berubah. Penghormatan dari yang muda kepada yang tua hampir hilang. Kasih sayang dan kepedulian dari yang tua kepada yang muda pun merosot. Ukuran terhormat atau terhina lebih didasarkan pada kesuksesan materi, daripada peranan seseorang untuk kemaslahatan warga.
Nyaris hilangnya semangat gotong royong berimbas pada model pengambilan keputusan pada rembug desa. Individualisme seolah-olah sudah menjadi ideologi perdesaan. Dengan dalih demokrasi, individu-individu bersekongkol untuk memenangkan kelompoknya dalam setiap rembug desa. Parsisipasi warga dalam urusan-urusan desa pun tidak pernah mendekati angka 100 % seperti dasawarsa 70 an. Lagi-lagi, dalam rembug desa, lebih banyak bicara urusan kapital, fisik, bahkan uang daripada persoalan-persoalan nilai kemanusiaan.

Generasi muda banyak yang tidak menyadari bahwa di desanya telah mengalami kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka hanya menelan saja apa yang tertayang di televisi, koran, serta internet.Mereka benar-benar tidak mengerti, bahkan pada skala tertentu tidak mau mengerti, apa yang terjadi dengan desanya di masa lalu. Mereka tidak mengerti bahwa untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan perdesaan waktu dulu dibutuhkan tokoh masyarakat, bisa kyai, pamong desa, ki dalang, sesepuh, dan sebagainya. Generasi muda desa tidak mengerti bahwa untuk mendapatkan pekerjaan di masa lalu mereka tidak harus melamar dengan menghabiskan jutaan rupiah.
Banyaknya home industri desa di masa lalu tidak harus memaksa mereka meninggalkan desanya. Sebaliknya, sekarang generasi muda desa banyak bekerja keluar dari desa, menuju ke kota mengunmpulkan sejumlah uang untuk masa depannya. Bersama uang yang dia dapatkan, mereka juga membawa serta budaya kota untuk masuk di perdesaan. Pernah penulis dapati di desa penulis, seorang pemuda dusun pulang membawa sejumlah modal/uang. Dengan sejumlah modal itu, pemuda tersebut mendirikan usaha perjudian berupa biliard. Lengkaplah kerusakan desa kami. Nilai-nilai kemanusiaan yang merosot ditambah pemiskinan melalui bisnis perjudian.

Polusi budaya perkotaan terhadap desa kami juga terjadi melalui pola pergaulan antara pria dan wanita. Ketika home industri perdesaan masih hidup, muda-mudi desa memiliki banyak kesibukan, misalnya pada kerajinan batik. Hancurnya home industri desa memaksa gadis-gadis desa menjadi pengangguran atau bekerja di perkotaan. Ketika pulang di desa, wanita-wanita itupun mengusung sejumlah pola pergaulannya di kota masuk ke desa. Sebut saja misalnya si Miyem yang dahulu memakai pakaian yang sopan, rok panjang dan baju longgar, kini lebih gemar memakai rok mini atau celana ketat, kaos ketat, dan menampakkan auratnya.
Pergaulannya dengan pria tidak malu-malu lagi seperti dulu. Kini bepergian boncengan sepeda motor laki-laki perempuan menjadi pemandangan biasa. Bahkan jika seorang gadis ataupun bujang tidak memiliki pasangan mereka malu dengan kelompoknya. Sebaliknya, mereka tidak punya rasa malu jika hamil di luar pernikahan.

Budaya pedesaan sekarang berubah drastis dari budaya kekeluargaan, gotong royong menjadi serba bisnis, serba uang, serba materi. Lebih-lebih menyangkut masalah rokhani, pedesaan telah jauh meninggalkannya. Agama hanya digunakan pada wilayah-wilayah formal. Agama tidak digunakan untuk memecahkan persoalan. Lebih-lebih setelah zionis berhasil mengelabuhi dunia dengan merobohkan WTC serta menciptakan proyek2 terorisme di negeri ini, agama semakin ditakuti untuk menjadi solusi masyarakat desa. Secara formal orang desa beragama, namun yang melakukan ajaran2 agama hanya sebagian yang sangat kecil. Pada tataran praksis orang beragama dengan yang ateis di desa sama saja.

Categories:

    Total Tayangan Halaman

    FOLLOWER

    Who is Super Power?